Rabu, 30 Maret 2011

Minum antibiotik untuk batuk akut yang menghasilkan dahak hijau atau kuning hanya memiliki sedikit manfaat, demikian menurut penelitian terbaru. Sebuah studi yang melibatkan lebih dari 3.000 orang dewasa dari seluruh Eropa menemukan bahwa pasien yang menghasilkan dahak berwarna lebih mungkin diresepkan antibiotik oleh dokter mereka. Sayangnya minum antibiotik tampaknya tidak mempercepat pemulihan mereka, demikian menurut studi yang dipublikasikan di European Respiratory Journal. Batuk akut atau infeksi saluran pernapasan bawah merupakan alasan yang sangat umum bagi orang-orang untuk mengunjungi dokter mereka di Inggris. Batuk berdahak berwarna hijau atau kuning juga merupakan salah satu alasan paling umum untuk dokter meresepkan antibiotik, karena mereka percaya batuk itu mungkin disebabkan oleh bakteri. Tim dari School of Medicine di Cardiff University mengumpulkan data dari 13 negara Eropa untuk penelitian mereka, meminta pasien dan dokter untuk merekam gejala dan pengobatan untuk kondisi tersebut. Para peneliti menemukan bahwa pasien yang menghasilkan dahak hijau atau kuning diberi resep antibiotik "jauh lebih sering" dibandingkan mereka mereka yang berdahak bening atau putih. Mereka juga menemukan bahwa, setelah tujuh hari, perbedaan terbesar antara mereka yang dan tidak diobati dengan antibiotik kurang dari satu setengah persen poin pada skala keparahan gejala. Profesor Chris Butler, yang memimpin studi itu, mengatakan, “Temuan kami seirama dengan dengan temuan dari percobaan acak di mana manfaat dari perawatan antibiotik dalam dahak yang menghasilkan warna hampir tidak ada pengaruhnya.” "Temuan kami menambah bobot pesan bahwa batuk akut pada orang dewasa tidak sembuh lebih cepat dengan pengobatan antibiotik,” imbuh Profesor Butler seperti dilansir BBC. "Bahkan, resep antibiotik dalam situasi ini hanya dihadapkan pada efek samping dari antibiotik, merongrong masa depan, dan menggerakkan pada resistensi antibiotik." Profesor Butler menambahkan, "Antibiotik bisa menyelamatkan nyawa orang, tetapi kita perlu untuk menjauhkan obat tersebut dari orang-orang yang tidak akan mendapatkan keuntungan dengan mengonsumsinya. Semakin banyak kita menggunakannya, semakin kecil kemungkinan antibiotik itu bekerja." Prof Iwan Dwiprahasto, Guru Besar Farmakologi Universitas Gadjah Mada menuturkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat bisa membahayakan kesehatan masyarakat secara global maupun individu. Bentuk penyalahgunaannya cukup beragam mulai dari tidak tepat memilih jenis antibiotik hingga cara dan lamanya pemberian. "Kebiasaan memberikan antibiotik dengan dosis yang tidak tepat serta waktu pemberian yang terlalu singkat atau terlalu lama akan menimbulkan masalah resistensi yang cukup serius," ujar Prof Iwan dalam acara workshop jurnalis kesehatan di Depok, Sabtu (26/3). Infeksi virus seperti demam, flu, batuk pilek, radang tenggorokan dan beberapa infeksi telinga merupakan infeksi yang tidak boleh diobati dengan antibiotik. Hal ini karena antibiotik membunuh bakteri dan tidak membunuh virus.(go4/*)

VIVAnews - Susu bukan hanya pelengkap makanan yang harus dikonsumsi setiap hari. Tapi, juga bermanfaat untuk menunjang kesehatan. Bahkan, menurut penelitian di Universitas Wageningen dan Harvard, minum tiga gelas susu setiap hari, mampu mengurangi risiko terkena penyakit jantung sebesar 18 persen.
Hasil penelitian ini sekaligus membantah mitos yang menyatakan bahwa mengonsumsi susu setiap hari dapat mengakibatkan penambahan berat badan dan berujung pada munculnya serangan penyakit jantung, stroke, bahkan kematian.Penelitian itu dilakukan dengan mengkaji 17 penelitian dari Eropa, Amerika, dan Jepang. Para peneliti tidak menemukan hubungan antara konsumsi susu biasa atau rendah lemak dan peningkatan risiko penyakit jantung, stroke, atau kematian."Susu adalah makanan yang bergizi dan sehat. Kaya akan nutrisi alami, seperti kalsium, kalium dan protein," ujar Cindy Schweitzer, Direktur Teknik, Global Dairy Platform.Kemudian, penelitian lain di Israel yang diterbitkan pada American Journal of Clinical Nutrition juga menyebutkan bahwa konsumsi susu kalsium yang lebih tinggi akan berpengaruh terhadap penurunan berat badan.Penelitian itu dilakukan terhadap 300 pria dan wanita yang mengalami kelebihan berat badan selama dua tahun. Kesimpulannya, orang yang mengonsumsi susu yang mengandung kalsium tinggi, kehilangan 38% berat badan mereka dibandingkan dengan orang yang mengonsumsi susu rendah kalsium.Peneliti Amerika Serikat juga mengkaji 21 penelitian yang mencakup hampir 350.000 data dan menyimpulkan bahwa konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh tidak berhubungan dengan peningkatan risiko, baik penyakit jantung koroner atau penyakit jantung. Penelitian ini diterbitkan pada American Journal of Clinical  Nutrition.Selain itu, ada lagi penelitian yang diterbitkan pada American Journal of Epidemiology juga. Penelitian terhadap 23.366 pria di Swedia ini mengungkapkan bahwa  konsumsi kalsium di atas tingkat harian yang direkomendasikan dapat mengurangi risiko kematian akibat penyakit jantung dan kanker sebesar 25%. (pet)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar